Bu, Maaf, Belum Bisa Menikah Meski Sudah Lewat Dua-lima

Sepertinya, Ibuku tidak akan bosan-bosannya untuk memintaku segera menikah. Serupa denganku yang juga (masih) tidak bosan-bosannya akan menjawab "iya". Walau tak tahu kapan dan akan menikah dengan siapa. Tapi, aku tidak sebal atau kesal, meski aku tahu jika menikah adalah pilihan personal bukan permintaan orangtua yang wajib diikuti oleh anaknya. Tapi, sebelum buru-buru berbicara untuk menjelaskan konsep itu, kenyataan lain yang justru aku pikirkan adalah Ibuku tak menganut konsep demikian. Dan pikirku, ia tak bisa disalahkan. Lagipula, adalah sesuatu yang wajar jika orangtua menyuruh anaknya menikah. Selama masih tidak menjadi sesuatu yang berlebihan, aku akan menikmati semua petuah tentang menyegerakan pernikahan dan hal-hal terkait berumah tangga yang akan selalu ibuku sampaikan. Paling tidak, kami berdua akan ada bahan bercerita di telepon, meski sejatinya aku hanya akan jadi pendengar dan Ia-lah yang akan bicara sepanjang sambungan telepon berlangsung. 

Kupikir, orang-orang lain yang kerap bercerita betapa menyebalkannya 'suruhan' menikah dari orangtua atau kerabatnya. Melewatkan beberapa hal, tentang bagaimana ia harusnya memandang anjuran menikah yang ia terima. Apakah harus buru-buru marah dan tersinggung atau menerima pertanyaan-pertanyaan itu dengan tetap santai dan dilupakan bak angin lalu saja. Aku selalu percaya bahwa, kita tidak akan pernah bisa mengontrol apa yang ada dalam luar diri, sekalipun itu orangtua, saudara, atau bahkan teman terdekat sekalipun. Sebaliknya, diri sendiri jadi penentu, bagaimana reaksi yang seharusnya kita lakukan. Diriku pun demikian, ada waktu-waktu di mana aku merasa bosan, diberi pertanyaan tentang 'kapan nikah?'. Hingga akhirnya, aku selalu melatih diri untuk bisa memahami jika itu adalah bentuk perhatian. Meski tidak menutup kemungkinan juga, ada beberapa orang yang menyampaikan pertanyaan tersebut dengan tujuan menyindir. Lalu, apakah aku perlu membalasnya dengan mencari bahan sindiran lain? Untuk apa, toh tidak ada gunanya. 

Daripada harus sibuk memikirkan, akan mencari sosok siapa saja yang bisa membebaskanku dari pertanyaan-pertanyaan kapan menikah. Aku pikir, menikmati perjalanan hidup yang sekarang jauh lebih penting untuk dijadikan fokus. Mengenali diri sendiri lebih dalam, memahami hal-hal apa saja yang ternyata bisa membuat bahagia, belajar sesuatu yang baru, berburu camilan diskon di swalayan, atau sekedar bangun pagi lalu lari minimal seminggu sekali. Walau bukan sesuatu yang besar, tapi setidaknya ada banyak hal yang bisa kita lakukan meski sendiri, tapi bahagianya juga serupa dengan orang-orang yang menikah. Ibuku mungkin tidak tahu, jika anak perempuannya ini masih selalu merasa baik-baik saja walau sendiri dan tak punya kekasih. Tapi ketakutannya tentang bagaimana aku akan merasa rendah diri karena masih belum dipinang lelaki di usia segini. Tapi, beliau juga tidak bisa aku salahkan. Meski hidup dari rahimnya, bukan berarti isi kepalaku dan kepala ibuku akan serupa. Ada banyak cara pandang berbeda yang kami yakini, dan aku sungguh tak masalah dengan itu. 

Aku tak merasa perlu bersusah payah menjelaskan kepada ibuku, jika tak menikah pun seseorang bisa saja bahagia. Karena yang ada di pikirannya, tentu berseberangan dengan itu. Aku tak merasa perlu bersusah payah menjelaskan kepada ibuku, jika ingin menjadi seorang ibu haruslah melahirkan terlebih dahulu, padahal mengurus satu anak yang tak lagi punya ayah dan ibu serupa baiknya dengan menjadi seorang ibu. Daripada harus berlagak lebih pintar untuk mengajari konsep sumber kebahagian, aku lebih memilih untuk tersenyum dan meminta doanya saja. Toh aku bukan tak ingin menikah, hanya belum bertemu jodohnya saja. 

Itulah sebabnya, persoalan 'Kapan Nikah?' yang katanya kerap jadi sumber perselisihan, kuanggap adalah sesuatu yang sebenarnya bisa dilewati dengan biasa-biasa saja. Ibuku mungkin berbeda dengan Ibu-ibu lain. Ia hanya akan bertanya kapan dengan nada bercanda, tapi ternyata Ibu lain ada yang bertanya sembari marah. Tahu ada situasi berbeda dengan pertanyaan serupa, membuatku juga belajar.  Tentang pemikiran 'bisa dilewati dengan biasa-biasa saja' yang tadi aku pikirkan, ternyata tak sesederhana menuliskan mantra-mantra untuk diri sendiri. Maka, satu-satunya hal yang bisa harapkan juga bisa orang lain lakukan adalah tetap bisa mengontrol diri dan menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebuah perhatian. Sekalipun itu disampaikan sebagai bentuk sindiran, tetapkan fokus untuk menganggapnya adalah sesuatu yang baik. Tiap-tiap kita memiliki alasan dan tak perlu susah payah untuk menjelaskannya, karena bahagiamu hanya kamu rasa. Jika ingin tidak dibahas lagi sesegera mungkin, sesekali cobalah balas pertanyaan kapan menikah dengan kata 'maaf', biasanya kalimat demikian manjur untuk membuat si penanya merasa bersalah. Karena jawaban begitu, setidaknya menjelaskan jika yang ditanya pun ingin menikah. Hahaha!

Nikmati setiap detik yang kamu miliki, dengan fokus dulu untuk diri sendiri. Jika nanti waktunya tiba dan sudah ingin menikah, ia yang akan menjadi belahan jiwa akan datang meski tanpa diundang. Percayalah segala sesuatu sudah ada waktunya. 



Komentar

Postingan Populer