Membaca “Laut Bercerita” Selepas Berduka


Aku melepas Ibu pergi ke tempat yang jauh, hanya berselang 3 tahun dari ketika Bapak sudah pergi lebih dulu. Meski sudah lelah, aku tak menemukan satu kata yang cocok untuk bisa kupakai menggambarkan perasaanku. Satu hal yang belakang makin aku sadari, ternyata, Ibu memang sudah benar-benar pergi meninggalkanku. Dari situasi hati yang sebenarnya tidak bisa dikatakan pulih, adalah sebuah kesalahan besar ketika aku dengan tanpa ragu memutuskan akan membaca Laut Bercerita karya Ibu Leila Chudori.

Bukan karena karena novel ini sedang digilai banyak kawula muda apalagi ciwi-ciwi Ibukota. Oh, iya, aku sebut digilai, konon novel ini sudah dicetak ulang hingga puluhan kali. Sudah ada film pendeknya pula dan kerap lalu lalang dibahas di beberapa pembahasan di sosial media. Selain cerita yang berlatar tahun-tahun politik yang cukup mencekap. Aku setuju, tokoh fiksi macam Laut Biru memang layak kita idolakan bersama. Baik sebagai sosok Abang, Pacar, atau kawan dekat yang, barangkali kita inginkan tumbuh bersama kita.

Sampai lupa akan dibawa kemana cerita ini, oke, sepertinya kalian mungkin akan butuh sesuatu untuk dikunyah sembari mendengarku bercerita. Jadi jika ada yang ingin mau mengambil makanan ringan, memesan kopi susu kekinian atau mencari playlist yang pas untuk diputar sambil membaca cerita ini. Sah-sah saja ya, lakukan sesuka kalian, pesan dan kunyahlah apapun yang kamu inginkan sekarang. Karena aku masih baru akan memulai ceritaku sekarang.

*Spoiler Alert*

Serupa halnya dengan kedua orangtua Laut dan Asmara, enam bulan terakhir di 2023 ini. Kujalani dengan berbagai macam upaya penangkalan atas kehilangan Ibu di Januari lalu. Aku merasa hanya perlu menelpon beliau, setiap kali pekerjaan di kantor membuatku merasa lelah. Aku merasa hanya perlu melakukan panggilan video setiap akhir pekan untuk mendengarkan cerita baru yang dimilikinya. Bahkan ketika aku sampai di kamar kos kecil ini, aku tahu dan sadar betul, jika tak ada Ibu yang bisa kutelpon lagi. Tapi yang ada di pikiranku justru adalah, “hem, telpon mamanya nanti aja deh”. Seolah berlari pada hari terakhir ia bersamaku di kamar kos ini, aku ingin mematenkan semua ingatanku tentang Ibu.

Jadi tak heran, jika satu kali aku pernah menangis di jalan pulang kerja hanya karena merasa sedari pagi, aku belum memikirkan Ibuku. Aku takut, jika nanti — hari-hari akan kulalui ternyata, akan berjalan tanpa aku memikirkan ibuku lagi. Jangankan untuk berada di sana, membayangkannya sudah membuat hatiku nyeri sekali. Bahkan tulisan ini, yang tadinya kupikir akan menambah rasa sedihku, kutulis untuk mengingatkan diriku sendiri di hari-hari masa depan, di mana aku mungkin sudah mulai bisa berdamai pada kenyataan bahwa ternyata aku sudah tidak memiliki kedua orangtua lagi.

Aku melewatkan beberapa film yang berlatar belakang keluarga, hubungan anak dan orangtua, bahkan akun-akun kesukaan yang kerap menunjukkan hubungan ayah dan anak atau ibu dan anak. Bukan, bukan karena aku membenci mereka, aku hanya berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengingat Ibu dan Ayahku yang sudah tidak ada. Di hati dan pikiranku, aku secara terus menerus merawat kerinduanku pada kedua orangtua. Aku merasa bisa mendengar suara mereka berdua melalui ponsel, hanya saja aku belum menelpon saja. Kepalaku kuisi dengan bayang-bayang makanan enak yang akan dimasak ibuku tiap kali aku pulang ke rumah di akhir tahun, sebagaimana yang kulakukan sejak aku pergi merantau dan tinggal jauh dari rumah.

Aku merasa hanya memberitahu jam terbang pesawatku dan perkiraan aku sampai di rumah jam berapa. Untuk selanjutnya, mungkin Ayahku akan duduk di teras rumah kami, sebagaimana seorang Ayah menunggu anaknya pulang sekolah. Sementara Ibuku, mungkin akan berada di dapur, memasak anak babi kecil yang diberi bumbu ombu-ombu yang rasanya tak akan kutemukan di resto batak manapun. Hanya di dapur kami, sebuah ruangan kecil yang menjadi wilayah kekuasaan Ibuku.

Seolah masih bisa bertemu, aku masih berharap ibuku akan menelpon di jam makan siang hanya untuk bertanya aku makan apa. Atau menelpon sedari pagi di akhir pekan, hanya untuk bercerita teman seusia di kampung yang akan segera menikah dan kemudian bertanya kapan aku akan menunju ke sana? Tak apa, sekalipun beberapa pertanyaan dari Ibu sering membuatku merasa tak nyaman, demi mendengar suaranya aku selalu menahan segala pendapat yang bisa mematahkan pernyataannya. Aku senang mendengar ibuku bercerita tentang apa saja yang dirasakannya. 

Meskipun itu adalah tentang hal-hal yang kadang tak ada hubungannya dengan anak perempuannya ini. Untuk bisa meredakan rasa kehilangan yang kurasakan setelah Januari lalu ia pergi, aku berusaha jika Ibu yang tak bisa kulihat lagi itu, hanya pergi sebentar. Seperti sepanjang tahun 2022 yang ia lalui di berbagai kota, bersafari berlibur ke rumah anak-anaknya, ke rumah adiknya, ke rumah saudara dekat yang ternyata jadi kenangan terakhir darinya.

Malam terakhir aku bersama Ibuku, ada banyak sekali kata-kata yang terdengar seperti hal-hal yang tak masuk akal. Namun kian jelas ketika akhirnya aku tahu ia betul sudah benar-benar pergi dan tak kami tak bisa bertemu lagi, sebagaimana yang ia sampaikan sebelum pulang ke rumah kami. Malam itu, aku hanya mengeratkan pelukanku, merasakan kehangatan dari tubuhnya yang mengalir ke tubuhku. Tak banyak kata yang bisa kuucapkan, meski sudah berusaha mengubahnya jadi sebuah candaan, aku tahu, jika Ibuku juga sudah merasa ia akan pergi tak berselang lama setelah memberikan beberapa kenangan indah di hari-hari terakhirnya di dunia.

Meski sudah hidup sepanjang 28 tahun terakhir, tak ada pelajaran pasti yang bisa dilakukan untuk menghadapi kehilangan orang tersayang. Mereka yang pergi dengan terlihat saja, masih jadi sesuatu yang sulit diterima. Untuk itu, jika ternyata Biru Laut dan ceritanya itu adalah benar-benar terjadi di dunia nyata, aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Asmara adiknya, menjadi kedua orangtua yang kehilangan anak tercinta tapi ((hilangnya)) tak tahu di mana dan ke mana.

Belum merasa jadi anak yang berbakti dan berguna, setidaknya dalam doaku, aku selalu meminta kepada-Nya agar Ibu dan Ayahku berada di tempat terbaik di Sisi-Nya. Dan semoga pikiran dan kepalaku juga masu bekerja sama untuk terus merawat ingatan-ingatan baik tentang kedua orangtuaku yang kelak bisa aku ceritakan kepada siapapun yang ada di hidupku. Dan sampai nanti aku ((mungkin)) akan menyusul mereka juga.


“Ketika ayah dan ibuku meninggalkanku, maka Tuhan akan mengambil aku dalam pemeliharaan-Nya” (Mazmur 27:10)




Komentar

Postingan Populer