Ketika Orang Kaya Memberi

 


Terlalu bosan untuk terus menerus bercengkrama dengan layar ponsel. Pagi-pagi di kendaraan umum seperti transjakarta, kerap kuhabiskan dengan menatap ke bawah (jika kebetulan aku mendapat tempat duduk). Di sana, aku kerap melihat berbagai macam nama yang menempel pada alas kaki yang orang-orang kenakan. Untuk model atau warna yang kusuka, sesekali aku mengintip nama apa yang terpampang, mencatatnya di ingatan, lalu buru-buru mencarinya di internet. Beberapa ada yang berlanjut hingga kubeli, tapi sebagian lain hanya jadi wishlist di keranjang belanja online.

Meski masih belum terlalu punya uang banyak, aku bisa tahu. Mana alas kaki asli dan palsu. Dari warna kainnya, karet sol yang dipakai hingga bulatan untuk menaruh tali pengikatnya. Aku bisa tahu, mana rexsleting tas LV yang asli dengan yang diberi label original authenthic. Karena kemampuanku mengetahui barang-barang asli dengan yang palsu ini, seorang teman pernah bertanya ‘Darimana kau bisa membedakan, mana coach asli dengan yang tigaratus ribuan?’, ‘ Bukan asal bicara, aku bisa mendeteksi dan meyakini barang-barang tersebut palsu tentu saja sudah melalui perjalanan panjang’, kataku.

Tapi ia hanya berlalu, berpikir aku hanya asal jawab saja. Karena bentuk dari tertawa yang ia tunjukkan memang lebih terlihat sebagai bentuk ketidakpercayaan, aku mengurungkan niatku untuk memberitahunya, dimana asal mula aku tahu mana barang-barang asli dan palsu.

Pada beberapa tahu di awal usia 20-an, aku pernah tinggal dengan seorang kerabat yang mungkin jauh-jauh lebih kaya dari keluargaku. Di rumah itu aku melihat beberapa barang mewah yang sebelumnya tidak pernah aku lihat. Berbagai macam barang mahal berkualitas bagus yang sungguh belum pernah aku sentuh dan lihat dari dekat. Selama aku di sana, aku mulai terbiasa untuk melihat barang-barang mewah, walau tak pernah memilikinya. Tapi saat itu, setiap kali pergi ke luar rumah, aku mulai terbiasa untuk jadi kritikus fesyen atas apa yang orang lain kenakan. Tapi tentu saja, semua kritik tersebut hanya akan aku ucapkan diam-diam dalam hatiku saja.

Ketika sudah punya cukup uang untuk membeli barang yang tadinya hanya bisa aku lihat dari kejauhan. Aku jadi makin paham, jika secerdik apapun para peniru ulung membuat duplicate, tak akan pernah bisa menyerupai bentuk aslinya.

Sebelum hampir lupa dan menyelesaikan babak cerita ini, aku perlu memberitahumu. Hal lain yang juga membantumu mengetahui berbagai macam barang asli dan tiruan, sebab semasa SMK aku mengambil jurusan tata busana. Jadi tentu saja aku bisa tahu, mana kain yang mahal dan yang murah, mana rexsleting impor dengan yang buatan lokal. Selain itu, kemampuan ini juga kumiliki atas pengalaman hidup yang kerap kurasakan karena beberapa orang yang pernah atau masih ada di hidupku. Pemberian dari orang-orang yang merasa bahwa, mereka yang tak punya uang, tak akan tahu mana barang asli yang barang tiruan. Karena orang-orang kaya kerap merasa, jika dia yang menerima harusnya bersyukur atas apa yang diberikan. Bagus atau tidaknya, layak atau tidaknya, asli atau tidaknya. Aku tentu tak akan protes, tapi sebaliknya belajar, jika ketika seseorang menerima sesuatu, ada perasaan selain senang yang kemudian ia rasakan.

‘Apakah aku terlihat begitu bodoh, sehingga ia merasa, meski diberi barang palsu aku akan merasa itu asli, karena ia berpikir jika manusia yang hidup dan besar di kampung ini sesungguhnya tak akan tahu bagaimana cara membedakannya’

—ya, inilah yang selalu aku pikirkan, setiap kali menerima barang yang menurutku, tak seharusnya diberikan kepada orang. Apalagi dari seseorang yang (lebih) kaya kepada dia yang mungkin (kurang) beruntung dari segi ekonomi.

ya Tuhan, semoga aku kaya raya, agar tak perlu merasa sok superior dan dermawan dengan memberi kepada orang, tapi dengan hal-hal yang sebenarnya hanya untuk membantuku tampak baik tapi tak bernilai apa-apa untuk yang menerimanya.


Komentar

Postingan Populer