Orang-orang Medioker


Menjadi cantik dan tampan konon akan menyelesaikan separuh persoalan hidup. Lebih sering dilirik karena wajah yang rupawan, mendapat kesempatan lebih besar untuk diterima pada lowongan-lowongan pekerjaan yang menyertakan “berpenampilan menarik” sebagai syarat utama. Jadi idola saat sekolah dan ingin dijadikan pacar oleh banyak orang ketika sudah kuliah. Bahkan sampai pada fase hidup bekerja pun, masih ada banyak keuntungan lain untuknya si pemilik wajah tampan dan cantik.

Setelah beberapa keuntungan dari wajah yang rupawan tadi, kita sering akan beranjak pada ingatan tentang orang-orang yang bernasib kurang beruntung seperti para pemilik wajah tampan dan cantik tadi. Tapi, untuk kali ini mari kita memberikan secuil perhatian bagi orang-orang medioker yang berada di antar kedua pihak tadi.

Mereka yang tak cantik, tapi juga tak bisa dibilang jelek
Mereka yang tak pintar, tapi juga tidak bodoh-bodoh banget
Mereka yang tak kaya, tapi dibilang miskin juga rasanya tidak

Orang-orang yang berada di tengah, yang kadang sulit mendeskripsikan dirinya. Orang-orang yang kadang hanya bisa pasrah, sembari berkata “ya, mau gimana?”

Aku ingat, bagaimana permohonan beasiswa bidik misiku ditolak 11 tahun lalu, hanya karena pihak yang memeriksa berkasku merasa jika foto-foto yang kulampirkan dipotret menggunakan camera yang paling tidak sudah dioperasikan secara digital. Dan memang betul, foto rumah setengah gedong yang kami tempati itu, aku potret menggunakan camera digital yang type dan mereknya aku sudah lupa, milik kakak pertamaku saat ia masih bekerja di kantor Kecamatan.

Alih-alih bertanya, darimana aku mendapatkan camera untuk memotret berkas foto yang aku gunakan. Orang-orang itu justru memberiku sebuah penilaian, jika aku bukanlah anak “orang tidak mampu” karena memiliki camera digital jadi pengajuan bidikmisiku tidak bisa diproses lebih lanjut.
Itu adalah momen pertama paling menyebalkan yang rasanya paling melekat diingatan sepanjang 28 tahun aku hidup hingga sekarang. Aku merasa tak diberi ruang untuk menjelaskan, jika alat tersebut aku pinjam kepada kakakku yang kebetulan bekerja di kantor kecamatan dan kantor kecamatanlah sang empunya. Karena peritiwa tersebut, untuk pertama kalinya aku berkata kepada Ibuku, “Coba kalau kita betulan miskin ya mak, mungkin bidikmisiku diterima”.

Di lain cerita, statusku sebagai manusia medioker tak hanya perkara strata sosial saja. Hal tersebut juga meliputi wajah dan kecerdasan pikiranku. Aku tak pernah disebut cantik oleh siapapun kecuali bule-bule di dating apps yang nampaknya menyukai warna kulit dan ukuran bibirku. Bahkan Ibuku sendiri tak pernah mengatakan itu. Ia hanya akan memakai kata “Manis” atau “Ayu” untuk mendeskripsikan wajahku, tapi aku belajar untuk menerima itu. Aku terbiasa berpikir, bahwa aku memang tidak cantik, bahwa aku memang, ya, biasa-biasa saja. 

Dan sejauh ini aku menikmati itu. Biar bagaimanapun, aku tak perlu mendengar
“Cantik-cantik, tapi ga bisa masak”
“Cantik-cantik, tapi ga bisa ngomong di depan banyak orang”
“Cantik doang, masa itu aja ga bisa”
Dan berbagai macam perbandingan lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan wajah cantik seseorang.

Tapi hari ini, untuk satu kebutuhan pekerjaan yang mengharuskan sesorang berada di depan camera untuk membahas berbagai macam produk dari brand client. Aku adalah satu-satunya orang yang bisa memahami produk tersebut secara menyeluruh dengan baik, tapi salah satu co-workedku berkata jika aku bukanlah orang tepat yang akan bicara. Karena wajah yang kumiliki, kurang menjual dan tak cocok berada di depan camera.

Kali ini, untuk pertama kalinya, aku merasa seharusnya aku memiliki wajah yang cantik agar tak merasakan situasi menggelikan sekaligus menyebalkan seperti ini.

Komentar

Postingan Populer