Menonton Konser Kenduri dan Magical Things Lainnya

Doc: Pribadi

Saat tahu aku menang giveaway tiket menonton Konser Kenduri by Hara, kata temanku wajahku bak orang menang lotre. Walau bagi sebagian orang itu lebay, tapi aku percaya apa katanya itu mungkin benar. Karena perasaanku memang seperti baru menang lotre. Walau belakangan, aku sadar, pengalaman itu, rasanya tak akan tergantikan dengan lotre manapun, meski nilainya jutaan rupiah. Sebab, bagiku, apa yang aku rasakan dan nikmati di sana jauh lebih berharga dari itu.

Kilas balik sebentar, tadinya aku sudah mengumpulkan banyak niat dan keinginan untuk menuliskan cerita pengalaman ini sedari beberapa hari Konser Kenduri berlalu. Tapi, pada beberapa momen, aku merasa, “memangnya kamu siapanya Hara?”, jadi niat itu tentu, pudar karena diri ini kerap kali merasa segan dan tak ingin terkesan sksd hanya karena jadi pendengar lagu-lagunya. Tapi ternyata, hari ini aku ingin memberanikan diri saja. Toh, tak akan banyak manusia yang membaca apa yang kutulis di sini.

Niat menulis ini, lahir beberapa waktu setelah aku selesai membaca jurnal akar wangi edisi #13. Entah kenapa aku merasa ternyata Hara menjadikan para pendengarnya lebih dari sekedar penikmat karyanya. Buktinya, ia berbagi cerita yang menurutku, sebenarnya adalah obrolan yang biasanya dibagikan pada teman atau orang yang dikenal saja. Walau masih selalu kikuk atau starstuck tiap kali ketemu idola yang satu ini. Kali ini, aku ingin membalas ceritanya dengan ceritaku tentang dirinya. Walau tak banyak, tapi aku ingin, ia percaya, meski dirinya kerap merasa ia bukan siapa-siapa. Setidaknya, bagiku ia adalah salah satu sosok yang kuharap akan selamanya kusuka. (jadi plis jan pernah blunder di sosmed ya kak Rara.*ketakutan fans masa kini) haha. Walau sebenarnya, aku selalu yakin sih, blio tak akan seperti itu.

Karena aku adalah sosok pengingat yang cukup jeli, 2013 adalah tahun-tahun pertama aku bertemu Rara Sekar yang kala itu masih menjadi duo di Banda Neira bersama Ananda Badudu. Itu adalah masa-masa akhir aku berusia belasan. Baru mulai merantau di Jakarta dan mulai mengekplore banyak jenis musik baru. Sebab bocah kampung dari salah satu pinggiran Sumut ini, cuma tahu musik pop melayu & batak atau dangdut indosiar saja hingga usianya 17tahun.

Ada banyak babak yang sebenarnya sudah kulalui bersama Hara. Aku merasa ikut bertumbuh dengan lagu-lagunya, jatuh bangun seperti lirik-lirik lagu di Banda Neira. Jadi meski kata temanku, bubarnya Banda Neira itu adalah sesuatu yang biasa, bagiku tentu saja itu adalah patah hati yang luar biasa. Tapi berusaha untuk memahami keputusan keduanya, yang kupikir tentu saja berat juga bagi mereka. Aku juga ikut belajar untuk menyadari bahwa tak semua hal sedih akan mendatangkan sakit hati yang perih, eh, maksudnya tetap perih, tapi perihnya tuh segera terobati karena ternyata aku jadi ikut menemani perjalanan solo keduanya. Ya, walaupun Kak Rara dan Mas Nanda mungkin nggak merasa ditemani sih. Tapi setidaknya, keduanya tetap jadi dua sosok yang selalu kutunggu karya-karyanya.

Sebelum tulisan ini makin tak terarah, aku mau balik ke cerita awal tentang pengalaman menyenangkan menonton Konser Kenduri di Yogya, pada awal April 2023 lalu. Itu adalah konser pertamaku menonton Hara secara langsung, sekaligus jadi pengalaman pertama juga menonton konser dengan sajian yang berbeda. Jauh dari kota, dikelilingi pohon bambu dan pagi-pagi pula. Ketika Hara memasuki panggung, lagu-lagu mulai dinyanyikan, seketika aku lupa, jika di perjalanan naik kreta menuju Yogya, beberapa kali aku menangis karena melihat Ibu dan Anak yang duduk di depan kursiku. Aku tak kuat menahan air mata, karena mendadak teringat Ibu yang baru saja berpulang pada Januari 2023 lalu.

Hara by me at Konser Kenduri @docpribadi

Mendengar Rara Sekar bercerita tentang asal mula ia menjadi Hara, dan cerita proses pembuatan album kenduri yang juga sudah kubeli fisiknya lebih dulu saat dirilis (bukti konkrit kalau aku juga support beliau dengan larisin jualan albumnya ✌️) Kalau kau akan mendengar 4 track di album itu, lirik-liriknya memang sungguh minimalis. Tapi, justru berhasil mengajak kita juga ikut serta merefleksikan hubungan kita dengan hal-hal di sekitar sebagaimana alasan album tersebut tercipta. Jadi sembari mendengar, aku merasa juga ikut bertanya pada sosok dalam diriku sendiri.

Bersama dengan (mungkin) sekitar 200-an orang lainnya, aku duduk mendengarkan Hara mengumandangkan tembang-tembang menyenangkan yang juga sudah berulang kali kuulang-ulang sedari Januari lalu dengan hampir setiap hari. Kehilang Ibu dan Bapak yang juga sudah lebih dulu berpulang. Membuatku merasa jika hal-hal yang diluar kontrolku, memang tak bisa dihalau meski sudah berusaha sekeras apapun. Pada babak selanjutnya, kala Seroja dinyanyikan, sebuah lagu yang juga didedikasikan untuk Gunawan Maryanto, sahabatnya yang juga aku tahu karena beberapa instagram stories yang kerap diposting bersama. Pipiku kembali basah, sama seperti aku tak sadar jika sedang menangis saat di kereta. Hingga kini, setiap hari aku juga masih bertanya-tanya, “Dari sekian banyak manusia yang ada di dunia ini, kenapa Ibu yang dipanggil untuk pulang lebih dulu?”. Tapi tak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.

Gelang tiket masuk by me at Konser Kenduri

Setelah babak patah hati atas kehilangan Ibu, aku merasa memang butuh menyisahkan satu ruang kosong yang kekuatan yang lebih besar. Untuk keyakinan untuk memasrahkan diri atas apa yang akan dihadapi di masa depan. Kesiapan untuk terus berjalan, meski kini tanpa ada Bapak dan Ibu untuk tempat pulang.

“Banyak kehilangan yang kita lalui sepanjang menjadi dewasa, kehilangan orang yang disayang, kehilangan sahabat, kehilangan mimpi,” — Hara at Konser Kenduri

Kata-kata itu mungkin hanyalah salah satu dari bagian cerita Hara untuk menjelaskan perjalanan lagu-lagu yang ia nyanyikan. Tapi bagiku yang mendengar, itu jadi sebuah ajakan untuk tetap hidup dan berjalan. Lagu Seroja memang jadi jurang dalam untuk jatuh dan menangisi kehilangan, tapi penggalan puisi “Jeda yang Ajaib” yang dibacakan Hara di akhir lagu, jadi magical things yang justru mengajakku untuk ikhlas, berdoa dalam hati tanpa sadar, ditutup dengan mataku sembab ketika lagunya diakhiri.

Me difoto seorang pengunjung lain at Konser Kenduri

Ada beberapa momen lain yang masih terjadi, tapi hari ini, rasanya aku hanya sanggup menulis cerita tentang pengalaman menonton Konser Kenduri sampai di sini. Meski tak akan dibaca oleh siapa-siapa, setidaknya, kelak di masa depan. Ketika aku merasa hidupku sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin datang ke laman ini dan membaca kembali, betapa Hara sudah berperan banyak dalam berbagai macam fase hidup yang sudah kulewati.

Pancoran, 18 Agustus 2023

Komentar

Postingan Populer